BABAK BARU POLITIK KEPULAUAN
Oleh Rahmatul Ummah
(Pelajar Sekolah Pascasarjana FISIP Universitas Lampung)
Hajat politik local, baru saja dilewati, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Sapeken. Pesta demokrasi di tingkatan desa itu telah menghantarkan M. Salim menjadi orang nomor satu di Desa Sapeken. Nyaris tidak ada yang berbeda dari pemilihan kepala desa sebelumnya, sebuah pesta yang telah menuntaskan libido politik masing-masing kontestan, terengah-engah menikmati kepuasan dan kenikmatan, hingga lunglai tak mencapai puncak. Sebuah ritme dan ritus seremonial demokrasi prosedural.
Namun, menurut penulis ada yang sama sekali berbeda dari sebuah partisipasi prosedural masyarakat kepulauan, saat kandidat unpredictable ternyata berhasil memenangkan kontes yang telah mengorbankan beberapa warga miskin kepulauan, karena harus rela menerjang badai dan ombak demi sebuah harapan, kepala desa baru sama dengan harapan baru untuk sejahtera.
Jika kita jeli mengamati, kita akan menemukan ada pergeseran dan desakralisasi nilai dan figuritas. Kenapa pergeseran nilai dan desakralisasi figur? Cobalah amati, dalam beberapa dekade pemilihan kepala desa, (di luar yang didiktekan orde baru tentunya) hampir bisa dipastikan bahwa si A bakal menjadi pemenang dalam pemilihan, meski pesta belum digelar. Karena si A deket dengan tokoh si B.
Dan Pilkades yang baru ini sama sekali berbeda. Ternyata si A yang dekat dengan tokoh si B kalah telak. Artinya, ada pergeseran dan desakralisasi. Tidak ada lagi yang keramat, sehingga masyarakat harus kualat jika tidak ikut. Inilah babak baru pencerahan politik buat masyarakat. Dan penulis yakin ini adalah hasil yang tersembunyi dari kerja keras anak-anak muda Sapeken.
Selama ini, instrumen demokrasi lebih sering diambil alih, digunakan dan dibajak oleh elite masyarakat (baca; tokoh) untuk konsolidasi kepentingannya. Pilkades pada awalnya didesain untuk proses demokrasi, namun dalam implementasinya ditelikung menjadi praktik rekonsolidasi status quo. Dan ini dibuktikan hasil dari setiap Pilkades Sapeken selama ini, selalu menampilkan wajah terburuknya, kepala desa menjadi alat politik kepentingan kelompok, pemilik modal dan mafia-mafia yang suka mengeksploitasi lingkungan dan biota laut.
HIMAS dan Pendidikan Politik
Demokrasi bukan sekadar perubahan kebijakan politik. Demokrasi sejatinya menyangkut sejauh mana institusi demokrasi patuh terhadap hukum, bebas dari kepentingan modal, dan sejauh mana rakyat, sebagai pemberi mandat, berhak ikut secara kolektif mengambil keputusan menyangkut kepentingan bersama (popular control).
Pasca Pilkades, HIMAS harus senantiasa melakukan pengawalan terhadap hasill dari demokrasi prosedural ini, sehingga bisa mencapai demokrasi substansial. Benarkah instrumen pilkades yang lalu, telah menjadi panggung politik milik rakyat, atau jangan-jangan pilkades makin mengafirmasi (membenarkan) bahwa demokrasi juga telah dibajak di tingkat yang paling lokal?
Pilkades yang lalu, meski telah mengalami pergeseran dan perubahan, tetapi masih dalam konteks demokrasi prosedural dan belum menyentuh demokrasi substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan dekat dengan rakyat.
Untuk itu perlu kerja keras HIMAS untuk selalu mengawal dan mendorong lahirnya perubahan yang lebih substansial dan terarah, dengan membangun kontrol yang efektif terhadap aparatur desa yang mengemban amanat rakyat.
Oleh karena itu HIMAS tidak boleh membangun strategi apolitik. Yang akan berakibat, pada gerakan yang elitis. Karena HIMAS akan "gagal" memperkuat sumber daya politik rakyat untuk berhadapan dengan sumber daya aktor politik lokal. Tawaran alternatif. Perubahan yang demokratik hanya bisa dilakukan lewat sinergi yang bergerak di wilayah sipil dan yang bekerja di wilayah politik.
Beberapa tawaran alternatif yang bisa dilakukan HIMAS sebagai gerakan pro demokrasi adalah: pertama, memprakarsai jaringan lokal untuk mengadvokasi isu yang bisa dijadikan agenda komprehensif. Misalnya isu pemekaran desa, kecamatan atau Kabupaten. Selain berfungsi sebagai jangkar informasi publik, jaringan ini juga akan memonitor dan mengawasi secara independen proses pembangunan, dan menyiapkan langkah-langkah hukum jika terjadi manipulasi dan pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Kedua, memfasilitasi forum konsultasi politik lokal antarmasyarakat dengan parpol. Selain merumuskan agenda politik bersama, memformulasi kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan hal ini terkait dengan semakin dekatnya pemilu legeslatif tahun 2009. Ketiga, melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak melulu menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat. Ini semuanya penting agar politik tidak (lagi) dianggap dosa dan demokrasi tidak jatuh ke tangan pemerkosa hak-hak rakyat!
1 komentar:
salam kenal, kunjungi kami saudaramu di www.smansasapeken.sch.id
Posting Komentar