MERINDUKAN HIMASWATI BERJIWA RADIKAL BERFIKIR EMANSIPATORIS
(Semangat Anisa` dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)
(Semangat Anisa` dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)
By.SYAIFUDDIN
(Alumni HIMAS / Pemuda Muhammadiyah)
Dari waktu-kewaktu perjalanan dan pergerakan perempuan mengalami pasang surut karena harus berhadapan dengan patriarkis yang diangap lebih unggul dari perempuan, perempuan di gambarkan oleh Abidah el Khalieqy, dalam Novelya, Perempuan Belkalung Sorban (PBS) yang telah di visualkan dalam bentuk film, sutradara, Hanung Bramantyo, film kontoversial ini menyedot perhatian MUI dan tokoh agama konservatif lainya, PBS dalam tradisi PP. Al-Huda (Institusi Pengkajian Islam) diletakkan sebagai obyek terhadap laki-laki, istri hanya menjadi pemuas nafsu seksualitas suaminya, bahkan terpasung atas nama agama “istri akan dilaknat oleh Tuhan jika istri tidak mau melayani suaminya”, paradigma kultural yang berkambang di institusi pendidikan yang mengajarkan kitab kuning dan penanaman nilai-nilai religiusitas pada santriwatinya itu, mendapat perlawanan keras Annisa` (Revalina S Temat) karean perempuan tida diberikah hak proporsional dalam keperempuanannya sebagaimana hak laki-laki.
Melihat peraktek agama yang diajarkan oleh institusi itu, menggugah jiwa Annisa` untuk melakukan rekonstruksi pemahaman nilai-nilai keagamaan yang sudah menjiwai (masyarakat sekitar Institusi itu) dan para pendidiknya, jiwa radikal Annisa` memberontak terhadap pemahaman tersebut, goncangan jiwa terus berkecamuk, berdilektikakan agama pembebasan dalam ketidak berdayaannya, ketidak berdayaan di hadapan suaminya, perempuan (istri) hanya dijadikan sebagai pemuas dan penghibur atas nama agama.
Dalam ketidak berdayaannya itu, ia (Annisa`) berfikir secara bebas dan berusaha mebangkitkan semangat emansifatorisnya untuk pembebasan diri, yang pada akhirnya terbebaskan oleh over seksualitasnya dan tertuduh melakukan perbuatan amoral “perzinaan’ dengan Lek Khodhori (Okta antara) alumnus Universitas Kairo,Mesir.
Dengan semangat pantang putus asa dan komitmen yang kuat terhadap kegelisahanya itu, ia mampu meleburkan idealismenya menjadi kenyataan, dalam era ini, kita merindukan Annisa`-Annisa` baru yang bermunculan untuk pembebasan dan merubah stigma negataif terhadap perempuan yang dinilai tidak bisa apa-apa, karenya, ia berusaha merubah stigma itu bahwa perempuan juga bisa beremansipasi dan bekerja layaknya seorang laki-laki dalam batas-batas tertentu.
Emansifatoris Radikal Annisa`
Keterbelengguan perempuan, bukanlah ketidak mampuan dalam kelemahan yang di asumsikan terhadapnya melainkan karena budaya yang berkembang tidak memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi, berkreasi dan beremansipatoris. Belenggu-belenggu kebekuan dan konserfatisme berfikir terhadap pemahaman ajaran Tuhan berimbas pada eksistensi keperempuanan, bahwa, “perempuan ditakdirkan oleh Tuhan hanya menjadi pelayan laki-laki dan budak birahisme suaminya”.
Dari perjalanan dan pergulatan idelismenya tercermin pada dirinya, ia terus bergerak dan berusahan melakuan pembebasan dari kungkungan keluarga dan Istitusi tersebut. Untuk mewujudkan gerakan pembebasanya itu, hanya ada dua jalan yang dilakukannya, yaitu; pertama, melakukan “perlawananan” terhadap suaminya Syamsudin (Reza Rahadian) ketika hendak melakukan hubungkan intim; kedua, melakukan perlawanan dengan berdialogikal terhadap keluarganya dan para pengajar di Istitusi Islam tersebut; ketiga, memberikan ruang kebebasan kepada para santriwati untuk membaca semua buku-buku yang berhaluan kiri dan liberal dalam gagasan pembaharuan (BUMI MANUSIA, oleh, Pramoedya Ananta Toer, yang ditulis di penjara pulau buru)
Jiwa emansifatoris Annisa` terus berkecamuk ketika melihat ketidak adilan pendiskriditan terhadap dirinya, terpasung atas nama ajaran ketuhanan dalam paradigma pemahamanya tentang Islam dan perempuan. Kemudian memaksa dia untuk pergi ke Jokjakarta menimba ilmu secara akademik dan bebas meninggalkan kampung halaman setelah cerai dengan suaminya yang kasar dan brutal. Terlebih dengan tindakan amoral mantan suaminya tersebut, selalu berdalih jika yang dilakukannya atas nama Tuhan dan Institusi Pengkajian Islam yang sejak semula ditanamkan oleh keluarganya yang tidak memberikan hak untuk bebas sebagaimana laki-laki.
Jika film PBS menggabarkan ketidak adilan Tuhan terhadap perempuan dalam Institusi Pengakajian Islam. Bukankah itu pendistorsian terhadap esensi keperempuanan Annisa` sebagai makhluk Tuhan? apakah itu esensi ajaran ketuhanan yang tidak memberikan ruang kebebasan pada Perempuan (Annisa`)? benarkah itu ajaran Ketuhanan sebagai rahmatan lil alamin?
Tetapi, sosok Lek khudori, menginterpretasi ayat-ayat keperempuanan dan melakukan pendekatan humanisme religius, perempuan adalah mitra laki-laki, cinta kasih, inklusif dalam gerak, melihat persamaan nilai-nilai kemanuasian. Karena diskriminasi itu bukan terletak dari a ajaran ketuahanan, tetapi karena dua hal yaitu; pertama, natural, meliputi perbedaan karena perempuan harus melahirkan sedangkan laki-laki tidak; kedua, kultural, kultur patriakis yang berkembang di masyarakat mempengaruhi interpretasi ajaran ketuhanan.
Merindukan HIMASWATI
Kini kerinduan terhadap HIMASWATI terlahir dan terinspirasi oleh seorang Annisa` yang tak pernah kunjung lelah dan letih walau ia dalam keadaan hamil tua, jiwa dan semangatnya terus membara dan berkecamuk sampai titik akhir ia menjadi searang konsulat dan lawyer dan merubah sistem konserpatif pada Institusi Pendidikan Islam keluarganya.
Kehadiran HIMASWATI adalah tunas baru bagi seorang Annisa`, pergerakan keperempuanan merindukan hal itu. Namun kita harus bertanya dan mengevaluasi terhada HIMASWATI, apakah ia akan menajdi penonton dalam pergerakan keperempuanan dan ataukah hanya menjadi pelengkap sejarah pembebasan dari sistem patriarkis yang digambarkan oleh Abidah el Khalieqy, dan haruskan kerinduan itu hanya menjadi dongeng-dongeng imajinatif kita?
Semangat emansifatosri Annisa` harus mampu menggugah dan menjiwai dalam setiap relung langkah perjuangan HIMASWATI, bagaimanapun juga semangat perjuangan untuk pembebasan harus selalu terpatri untuk mengubah segala hal yang membelunggu terhadap gerakan keerempuannan, aktualisasi jiwa radikalisme harus benar-benar terispirasi oleh semangat qur`ani (sosial-religius) sebagai landasan bergerak menuju perubahan dan pemberdayaan terhadap perempuan. Tapi, tidak mustahil gerakan HIMASWATI akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan diluar dirinya sebagaimana perlakuan yang dialami oleh Annisa` pendiskriminasian terhadap hak-hak keperempuanannya dan gesekan –gesakan sosial yang akan menjadi batu sandungan dalam proses pergerarakan terhadap radikailisme dan emansifatoris berfikirnya.
ada bebarapa hal yang menarik dari sosok Annisa`, menurut saya, sangat relevan dengan gerakan HIMASWATI apa lagi HIMASWATI yang bukan sekadar perempuan yang bercita-cita dalam kerapuhan ilmu tetapi, terlahir dari dunia Kampus, dunia yang selalu bergelut dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
Dari Annisa`, PBS yang relevan buat pergerakan HIMASWATI adalah; pertama, semangatnya yang tak pernah lelah dalam memperjuangan hak-hak keperempuananya (Advokasi Perempuan dan Anak); kedua, dengan modal kemampuan dan kecerdasan jiwa radikalismenya, ia terbebaskan dari kungkungan suaminya ketiga, semangatnya untuk menulis, sebagai puncak kebebasan emansifatorisnya untuk berekspris dan berkreasi; keempat, seabagai wujud “pembrontakan” dan penanaman mentalitas perlawanannay memberikan kebebasan santriwati di Institusi Pengkajian Islam dengan menyalurkan buku-buku radikal peregrakan temannya di Jogjakarta.
Dan itulah menurut saya, yang harus dijiwai oleh HIMASWATI, untuk berjuang dan bergerak dalam pemberdayaan kaumnya dan masyarakat Indonesia pada umunya dan masyarakat kepulauan Sapeken khususnya sosok Annisa`-Annisa` baru dengan Jiwa radikalismenya dan emansifatorisnya bahwa perempuan mempunya bias “gender” yang sama dengan laki-laki.
Kerinduan terhadap HIMASWATI, bukan imaginative yang tak beralasan, karena selama ini HIMASWATI hanya seperti singa ompong yang bisanya mengaung tapi tidak berani untuk melawan ketidak adilan, deskriminasi, dan ketimpangan sosial lainnya.
Pesan dalam kerinduan; “jadilah kalian Annisa`-Annisa` baru untuk kaummu, jangan pernah lelah walau setigma negatif bergerumuh dari mereka yang terkungkung oleh normatifitas kultural, karena pesan dari langit (Allah SWT) ”laki-laki dan perempuan memilki hak yang sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat loyalitas kalian terhadap Aku (Allah SWT) taqwa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar